Alasan yang paling jelas di luar kepala terhadap pergerakan yang lemes tersebut adalah krisis perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang ditambah ancaman resesi yang membekap seluruh dunia.
Padahal, pasar saham adalah cerminan dari optimisme pelaku pasar keuangan dan investor terhadap prospek ke depannya.
Meskipun demikian, perlu dilihat juga bahwa kinerja kurang sedap dari pasar saham Indonesia 1,63% sepanjang tahun hanya di atas indeks KLCI Malaysia yang masih memerah 6,54%.
Kinerja Indeks Komposit Jakarta (JCI), sebutan lain IHSG di mata dunia, tentu masih kalah dibanding inti dari pusat masalah yaitu AS yang terwakili indeks Dow Jones Industrial Avg 16,06% dan dari China yang diwakili Shanghai Composite 17,86%, belum lagi indeks-indeks utama negara utama lain.
Belum lagi, aksi jual dari investor asing yang mendominasi pasar di setiap bulannya sejak awal tahun tidak peduli pasar positif maupun ataupun negatif, kecuali pada April saja. Sejak awal tahun, tercatat investor asing sudah keluar dari pasar dengan cerminan pada angka jual bersih (nett foreign sell) di pasar reguler Rp 18,28 triliun.
Selain dari refleksi terhadap tidak berminatnya investor asing pada pasar saham pada tahun ini, satu hal positif yang dapat diambil hikmahnya dari angka nett foreign sell tersebut adalah pasar yang positifnya tipis-tipis seperti sekarang adalah karena ada investor lokal yang menopang bursa dalam negeri
Meskipun masih tidak ada alasan yang 100% tepat dan memuaskan semua orang, tetapi mari berkaca sebentar pada kondisi di dalam negeri.
Pertama, tentu tahun ini adalah tahunnya pemilihan presiden (pilpres), di mana tentu menjadi alasan utama bagi investor yang memang belum teryakinkan untuk menanamkan dana investasinya di Tanah Air sebelum keluar nama pemenang dari kontestasi nasional tersebut.
Kenapa menjadi alasan utama? Karena ternyata memang perkembangan politik di dalam negeri saat itu memang sangat tidak kondusif dan hasil hitungan selalu menjadi pusat perhatian. Namun, sore hari setelah pemilih keluar dari bilik suara, hitungan cepat yang menunjukkan petahana masih tetap unggul.
Seperti yang sudah diprediksi, bacaan awal tersebut hanya menghasilkan kenaikan tipis IHSG 0,4% yang tentu tidak semeriah ketika ronde pertama digelar pada 2014 silam yang naik 1,49%. Sepanjang April, bulan pemilihan, JCI justru mendem atau flat kalau tidak ingin dibilang terkoreksi tipis 0,21% (vs menguat pada Juli 2014 yang melonjak 4,31%).
Kedua, pemerintahan baru. Setelah pergerakan pasar saham tidak seoptimis harapan dari pelaku pasar, asalan selanjutnya adalah menunggu susunan kabinet pemerintahan. Formasi punggawa di kantor pemerintahan ditunggu, apakah lebih banyak memasukkan orang partai politik atau profesional dan birokrat tulen yang sudah mendarah daging di bidangnya.
Untungnya, pelantikan dan pemilihan menteri serta wakil menterinya dibarengi dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia yakni 7DRRR yang turut melambungkan IHSG hingga 1,31% pada 24 Oktober. Meskipun demikian, sebagian pelaku pasar dan pelaku industri masih menunggu kinerja dari presiden serta racikan menteri di Kabinet Indonesia Maju untuk dapat menelurkan ponten bagus.
Ketiga, valuasi yang sudah mahal. Saat ini, rasio harga saham per laba (PE ratio) historis IHSG di 19,93 kali masuk deretan valuasi tertinggi di dunia, yang artinya terlalu mahal (overvalued). JCI hanya kalah mahal dari indeks Nifty di bursa India 24,89 kali, DAX di Jerman 22,53 kali, dan S&P 500 di AS 20,03 kali yang baru meroket dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masanya pada 28 Oktober kemarin.
PE ratio adalah cerminan valuasi perusahaan yang dilihat dari pengali harga pasarnya terhadap kinerja fundamental keuangannya, dalam hal ini laba per saham (EPS). Semakin tinggi pengali PE ratio, maka harga sahamnya di pasar lebih mahal dibandingkan dengan pengali yang lebih kecil. Valuasi tersebut sebaiknya diperbandingkan terhadap pesaing seindustri dan sebidang dan memiliki lini bisnis dan ukuran perusahaan yang terdekat.
Terkait dengan valuasi indeks saham, maka hitungan PE ratio tersebut berasal dari perusahaan-perusahaan yang menjadi konstituen atau anggota indeksnya.
Patut diingat bahwa meskipun banyak penyebab mahalnya valuasi IHSG, poin utama adalah kurangnya suplai emiten baru besar padahal posisi penutupan indeks kemarin sore (30/10/19) 6.295 masih jauuuuh dari rekor tertingginya di 6.689 pada 19 Februari 2018.
Tentunya kerinduan investor dan pelaku pasar modal terhadap adanya IPO kelas berat lagi layaknya PT Adaro Energy Tbk (ADRO) sebagai penawaran saham bernilai terbesar sepanjang masa atau selevel dengan saham unggulan (blue chips) lainnya perlu segera diobati.
Keempat, belum lagi faktor ekspektasi pelaku pasar dunia terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri serta kinerja operasional dan keuangan perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Padahal, perlu diingat juga bahwa tingkat konsumsi sudah mulai tertekan, yang dapat dicerminkan dari angka penjualan ritel yang nafas belanjanya mulai Senin-Kamis.
Tercatat, sejak Mei, angka penjualan ritel yang dibukukan 7,7% YoY masih lebih rendah daripada pertumbuhan penjualan ritel pada bulan yang sama tahun lalu, bahkan sempat memerah pada Juni dengan penurunan 1,8% YoY. Meskipun membaik menjadi 2,4% pada Juli, angka capaian Agustus dan September masih juga di bawah bulan yang sama 2018.
Kelima, penurunan suku bunga dan bersinarnya pasar obligasi. Tren penurunan suku bunga yang disebabkan ancaman resesi dan perlambatan ekonomi negara-negara dunia, termasuk Indonesia, membuat pasar modal yang terkenal dengan transaksi di luar busanya, maksudnya adalah pasar obligasi, lebih seksi.
Sudah khittah-nya (takdirnya), bahwa penurunan suku bunga akan membuat beban biaya bunga (cost of fund) bagi penerbitan efek serupa di kemudian hari akan lebih rendah, sehingga investor akan mengejar efek yang sudah terbit dan beredar di pasar sekunder karena menawarkan kupon bunga yang lebih tinggi.
Tercatat investor di pasar modal, baik asing maupun lokal, terkonfirmasi oleh tidak hanya segelintir pelaku pasar, sebagian sudah mengalihkan investasinya ke pasar surat utang terutama surat berharga (SBN) rupiah pemerintah. Bahkan, nilai kepemilikan investor asing di pasar surat utang negara (SUN), nama lain SBN, sudah mencapai Rp 1.057 triliun alias level tertinggi sepanjang sejarah.
Penguatan yang memberikan potensi keuntungan investasi (return potential) tinggi yakni 12,94% berdasarkan indeks INDOBeX Government Total Return, turut menawarkan daya tarik lebih bagi investornya. Apalagi, hingga akhir tahun penguatan harga masih dapat terjadi hingga menekan tingkat imbal hasilnya (yield) masih dapat lebih rendah lagi.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Yield seri acuan 10 tahun yaitu FR0078 diprediksi masih dapat turun hingga 6,8%, dari posisi hari ini yang yield wajarnya baru menembus level psikologis 7%, tepatnya 6,99%. Diprediksi beberapa pelaku pasar bahwa yield seri tersebut masih dapat turun lagi karena dini hari tadi pagi, suku bunga acuan AS yaitu Fed Fund Rate (FFR) diturunkan menjadi 1,5%-1,75%.
Penurunan FFR tersebut diharapkan akan diikuti oleh penurunan lagi suku bunga acuan dalam negeri untuk menjaga selisih yang akan melebar di antara yield obligasi AS dan SUN yang semalam sudah 520 basis poin (bps). Besaran 100 bps setara 1%.
Alhasil, instrumen obligasi rupiah pemerintah, atau yang juga biasa disebut surat utang negara (SUN) seakan menjelma menjadi wahana investasi aman (safe haven instrument) dan bintang lapangan, setidaknya pada tahun ini.
Tentu seluruh pelaku pasar modal berharap bahwa sinar dari pasar saham yang hingga saat ini meredup akan semakin baik ke depannya, yang tentu akan menjadi cerminan dari perbaikan makroekonomi dan politik dalam negeri serta dari kondusifnya sentimen di dunia persilatan global. Sebelum ancaman resesi yang ditakutkan benar-benar membekap kemaslahatan umat, sebelum hujan November benar-benar membasahi portofolio saham investor yang harganya belum pulih benar.
Amiiiiiiiiiiin!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv)Bisnis - Terkini - Google Berita
October 31, 2019 at 09:10AM
https://ift.tt/34gbdBZ
IHSG Belum Move On dan Ditinggal Indeks Lain, Apa Alasannya? - CNBC Indonesia
Bisnis - Terkini - Google Berita
https://ift.tt/34Gk0OK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "IHSG Belum Move On dan Ditinggal Indeks Lain, Apa Alasannya? - CNBC Indonesia"
Post a Comment