Kemarin, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa wabah COVID-19 kini sudah sah menyandang status pandemi. Artinya jumlah kasus infeksi yang terjadi sangat banyak dengan laju penyebaran sangat cepat dan terjadi berbagai penjuru dunia.
Perkembangan virus tersebut membuat, harga minyak mentah kontrak berjangka Brent dihargai US$ 33,86/barel atau turun 5,39% dan minyak mentah acuan AS yakni West Texas Intermediate (WTI) nyungsep 5,4% ke level US$ 31,2/barel.
Anjloknya harga minyak membuat ketidakpastian global meningkat. Perekonomian global kembali masuk ke dalam lautan badai, terpaan ombak besar tak terelakkan. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global pada 2020 dari sebelumnya 2,9% menjadi 2,4%.
Berdasarkan data kompilasi John Hopkins University CSSE, total kasus kumulatif COVID-19 di lebih dari separuh negara di dunia telah melampaui 125.000. Jumlah korban meninggal akibat infeksi COVID-19 sudah mencapai 4.615 orang.
Salah satu konsekuensi dari diberlakukannya status pandemi ini adalah adanya larangan bepergian yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh banyak negara. Salah satunya adalah AS.
Menyusul pernyataan tersebut oleh WHO, Presiden AS ke-45 Donald Trump langsung melarang kunjungan dari Eropa untuk 30 hari ke depan demi mengurangi penyebaran virus terjadi di AS.
Ketika terjadi 'travel ban' maka jumlah penumpang pesawat akan drop. Jelas hal ini memicu terjadinya penurunan pendapatan pada industri pesawat terbang. S&P Global memperkirakan potensi kehilangan pendapatan industri maskapai akibat wabah ini sebesar US$ 113 miliar. Akibat lebih jauhnya lagi adalah permintaan minyak bisa turun lebih dalam.
Deklarasi pandemi sudah dinyatakan, ekonomi global kini benar-benar terancam. Ketika terjadi negative demand shock pada komoditas bahan bakar yakni minyak, di waktu bersamaan justru pasar akan banjir pasokan.
Selain karena corona, pasokan minyak yang berlebih di pasar atau yang dikenal dengan 'positive supply shock' ini terjadi menyusul kegagalan OPEC+ untuk menyepakati proposal pemangkasan produksi minyak yang lebih dalam.
Arab Saudi mengajukan pemangkasan lebih dalam, namun Rusia menolaknya. Kongsi yang sudah terbangun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir itu kini nasibnya berada di ujung tanduk dan terancam pecah kongsi.
Arab Saudi dan Rusia bahkan pada April nanti akan menggenjot produksi minyak mereka. Menyusul Keduanya, Uni Emirat Arab (UEA) juga akan melakukan hal yang sama. Manuver lain yang dilakukan oleh Arab Saudi adalah dengan mendiskon besar-besaran harga minyak ekspornya.
Facts Global Energi (FGE) memperkirakan jika negara-negara OPEC dan non-OPEC termasuk di dalamnya ada Rusia kembali memproduksi minyak dengan kapasitas penuh, maka total tambahan output minyak bisa mencapai 4 juta barel per hari (bpd).
Arab memang geram karena proposalnya ditolak Rusia. Kini Arab beralih ke strategi merebut pangsa pasar ketimbang menjaga stabilitas harga. Kejadian ini jadi semakin memperkeruh suasana.
Positive supply shock justru terjadi di tengah negative demand shock, ya hasilnya seperti sekarang ini. Harga minyak mentah jadi hancur lebur. Pada Kamis (12/3/2020) harga minyak kembali melorot lebih dari 5%.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Bisnis - Terbaru - Google Berita
March 12, 2020 at 10:47AM
https://ift.tt/2wOUMBg
Pandemi Corona, Bikin Harga Minyak Terjun Bebas Lagi - CNBC Indonesia
Bisnis - Terbaru - Google Berita
https://ift.tt/34Gk0OK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pandemi Corona, Bikin Harga Minyak Terjun Bebas Lagi - CNBC Indonesia"
Post a Comment