"Berdasarkan Surat BEI Nomor: S-01419/BELPOP/03-2020 tanggal 2 Maret 2020 perihal Ketentuan terkait Transaksi Short Selling, dengan ini diumumkan bahwa Bursa mencabut seluruh Efek yang dapat ditransaksikan secara Short Selling dari Daftar Efek Short Selling sebagaimana tercantum dalam butir I.e. pengumuman BEI No. Peng-00054/BEI.POP/02-2020 tanggal 28 Februari 2020 tentang Efek yang dapat Ditransaksikan dan Dijaminkan dalam Rangka Transaksi Marjin dan atau Transaksi Shortsell."
Dengan demikian, tulis Bursa, tidak terdapat Daftar Efek yang dapat ditransaksikan secara Short Selling sebagaimana diatur dalam ketentuan III.5. Peraturan Bursa Nomor II-H tentang Persyaratan dan Perdagangan Efek dalam Transaksi Marjin dan Transaksi Short Selling.
"Pencabutan Daftar Efek Short Selling tersebut di atas mulai berlaku tanggal 2 Maret 2020."
Langkah BEI ini di lakukan di tengah pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pekan lalu terjun bebas. Data BEI mencatat, secara year to date, IHSG minus 13,41% saat ini.
Apa sebenarnya short selling?
Secara konsep, transaksi short selling adalah transaksi penjualan efek di mana efek dimaksud tidak dimiliki oleh penjual pada saat transaksi dilaksanakan. Artinya short selling secara sederhana disebut jual kosong, karena transaksi dilakukan tanpa ketersediaan efek.
Aturan teknis transaksi Short Selling diatur oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) lewat Peraturan BEI No. III-I tentang Keanggotaan Margin dan/atau Short Selling dan perubahan Peraturan Bursa Efek Indonesia No. II-H tentang Persyaratan dan Perdagangan Efek Dalam Transaksi Marjin dan Surat Edaran Bursa Efek Indonesia No. S-01109/BEI.ANG/02-2017 tentang Pemenuhan Ketentuan Pembiayaan Transaksi oleh Anggota Bursa.
Jika mengacu pada aturan tersebut, tidak semua perusahaan efek atau broker bisa memberikan fasilitas transaksi short selling untuk nasabah atau investornya. Ada ketentuan permodalan yang harus dipenuhi agar perusahaan efek bisa menyelenggarakan short selling.
Selain itu, tidak semua nasabah juga bisa melakukan transaksi short selling. Dalam peraturan OJK, pertama, nasabah yang bisa melakukan short selling yaitu harus memiliki rekening efek reguler untuk mengetahui riwayat transaksi nasabah.
Kedua, investor juga telah membuka rekening efek pembiayaan transaksi marjin untuk nasabah yang akan melakukan transaksi short selling pada perusahaan efek berdasarkan perjanjian pembiayaan dan masih memiliki rekening efek reguler.
Ketiga, telah menyetorkan jaminan awal dengan nilai paling kurang sebesar Rp 200 juta untuk masing-masing rekening efek pembiayaan transaksi marjin dan rekening efek pembiayaan transaksi Short Selling.
Secara teknis, transaksi short selling berkebalikan dengan transaksi saham secara umum. Normalnya, investor membeli saham dengan harapan harganya kemudian naik sehingga ada keuntungan.
Pada transaksi short selling justru berharap efek/saham yang ditransaksikannya turun. Contohnya, investor A meminjam dana dari perusahaan efek alias perusahaan sekuritas untuk menjual saham ABCD yang sebenarnya belum dimilikinya pada harga tinggi.
Investor A memprediksi harga saham ABCD akan turun. Pada saat turun, saham tersebut dia beli dan dari aktivitas tersebut investor A mendapatkan keuntungan dari selisih harga setelah melunasi pinjaman dari perusahaan efek tersebut.
Aktivitas transaksi ini punya risiko karena akan mendorong penurunan harga saham-saham tersebut.
Sebab pelaku transaksi short selling, terlebih di tengah situasi sentimen negatif, akan berupaya terus menekan harga saham turun lebih dalam untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Akibatnya, pasar saham semakin turun.
Sebaliknya, investor pada umumnya justru berharap harga sahamnya bisa naik agar tidak rugi. Adu kuat saja.
(hps/tas)
Bisnis - Terbaru - Google Berita
March 02, 2020 at 11:28AM
https://ift.tt/2wkcEnv
Dilarang BEI, Apa Sebenarnya Transaksi Short Selling? - CNBC Indonesia
Bisnis - Terbaru - Google Berita
https://ift.tt/34Gk0OK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dilarang BEI, Apa Sebenarnya Transaksi Short Selling? - CNBC Indonesia"
Post a Comment